Wonosari (04/10) – GKJ Wonosari Gunungkidul, Hari Senin 4 Oktober 2021 di Gereja GKJ Wonosari dalam rangka kegiatan kunjungan dan observasi mengenai wawasan kebangsaan di era modern dengan Pendeta Dwi Wahyu Prasetya MAPS.
Kegiatan Observasi di lapangan ini bertujuan untuk melatih rasa percaya diri mahasiswa dan melatih public speaking mahasiswa STAIYO sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan.
Indonésia dihubungkan dengan agama, maka berkaitan dengan kualitas kita sendiri sebagai manusia. Dalam lagu Indonesia raya (bangunlah jiwanya, bangunlah badannya), Pendeta Dwi Wahyu Prasetya MAPS menuturkan “jangan-jangan kita masih membangun badan saja, jiwa kita tidak dibangunkan” Ujarnya.
Dalam konteks Indonésia mengalami kemerosotan moral, maka kejahatan korupsi dan lain sebagainya justru menjadi PR penting tokoh agama, para pendidik, dan kita semua mengenai sejauh mana membangun masyarakat bukan hanya dari segi intelektual tetapi juga segi emosional dan spiritual.

Pendeta Dwi Wahyu Prasetya MAPS menuturkan bahwa Indonesia berdasarkan data administratif terdapat 6 Agama, dan sekarang banyak sekali wadah penghayat kepercayaan. Pentingnya toleransi beragama ini supaya setiap orang boleh memberikan ruang kebebasan, ruang untuk menghayati, dan ruang untuk mereka bereksplorasi.
Dalam konteks ini, berkaitan dengan kemanusiaan, dengan adanya dialog lintas iman, diharapkan dapat mewujudkan rasa kemanusiaan. Bicara tentang dialog lintas iman di Gunungkidul sendiri perlu digalakkan kerjasama atau karya bersama.
Bahkan pandemi memberi sisi positif. Beliau juga menuturkan ” Pandemi dapat menjadi media untuk menyatukan rasa kemanusiaan, seperti gerakan vaksinasi massal secara terbuka”.
Dari hasil wawancara tersebut Anggita, selaku mahasiswa prodi PAI semester 5 menambahkan ” Dari hasil wawancara tersebut saya mendapatkan banyak ilmu, wawasan, dan pengalaman dalam dialog lintas iman ini, harapanya kita sebagai mahasiswa harus bisa mengunjung rasa toleransi, kemanusiaan, dan dengan ilmu pengetahuan kita dapat merangkul masyarakat, mengikis rasa keminderan bahwa semua orang itu sama derajatnya”.