WEBINAR ; NIKAH BEDA AGAMA PERPEKTIF AGAMA DAN HUKUM

Wonosari (14/03) – Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI) Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta (STAI Yogyakarta) menyelenggarakan Webinar Nasional pada hari Senin, 14 Maret 2022 Pukul 19.30 – 21.30 WIB dengan tema ” Nikah Beda Agama Perspketif Agama dan Hukum di Indonesia”. Webinar ini menghadirkan narasumber KH. Zudi Rahmanto, S.Ag., M.Ag (Penghulu Ahli Madya KUA Playen Gunungkidul) dan Agus Suprianto, SH., SHI., MSI., CM. (Dosen Hukum STAI Yogyakarta, Mahasiswa S3 Fakultas Syariah & Hukum UIN Sunan Kalijaga, Praktisi Hukum Advokat dan Mediator) dan bertindak sebagai Moderator Khiyaroh, SH., MH (Dosen HKI STAI Yogyakarta).

Kegiatan webinar dibuka langsung oleh Ihyak, SHI., MHI selaku Kaprodi HKI STAI Yogyakarta. Dalam sambutan Ihyak menyampaikan terima kasih kepada Ketua STAI Yogyakarta Ibu Diyah Mintasih, S.Pd.I., M.Pd yang telah mensupport kegiatan ini, terima kasih pula kepada seluruh Panitia yang telah berjuang mempersiapkan kegiatan dan sukses melaksanakan kegiatan webinar ini. Kepada narasumber Bapak KH. Zudi Rahmanto, S.Ag., M.Ag dan Bapak Agus Suprianto, SH., SHI., MSI., CM diucapkan terima kasih atas kesediaan untuk menyampaikan materi dalam webinar ini. Serta seluruh peserta yang masuk dalam zoom dan yang telah mengisi presensi google form sebanyak 104 orang  yaitu dosen dan mahasiswa internal STAI Yogyakarta, kampus luar STAI Yogyakarta, dari penghulu / KUA di D.I.Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Aceh, NTB dan profesi advokat serta mediator, yang sangat antusias atas webinar tema nikah beda agama yang baru-baru ini hangat menjadi perbincangan di media sosial pasca unggahan foto nikah beda agama di Semarang. Terakhir kami menyatakan, mari webinar ini kita buka dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim secara bersama-sama dan semoga kegiatan ini lancar sampai akhir.

KH. Zudi Rahmanto, S.Ag., M.Ag dalam paparan materi menyampaikan bahwa betul publik akhir-akhir ini dihebohkan dengan peristiwa nikah beda agama di Semarang, termasuk Institusi kami yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) dan para Penghulu, banyak dimintai penjelasan/klarifikasi oleh masyarakat, Apakah negara telah membolehkan nikah beda agama? Mengutip pernyataan Kasubdit Kepenghuluan, Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama RI Anwar Saadi menegaskan bahwa : “pernikahan yang sah harus didasarkan hukum masing-masing agama. Regulasi soal itu sudah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.” Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Kemudian Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan yaitu “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seoarang pria yang tidak beragama Islam”. Sehingga ini jelas bahwa pernikahan beda agama di larang di Negara Indonesia. Institusi kami yaitu Kantor Urusan Agama (KUA), tidak akan dapat mencatat pernikahan, apabila pasangan beda agama dan cuma akan mencatat pernikahan yang seagama saja.

Lebih lanjut mengutip pesan singkat Ketua PBNU KH. Ahmad Fahrur Rozi (Rabu, 9/3/2022) bahwa “pernikahan muslimah dengan lelaki non-muslim tidak diperbolehkan berdasarkan al-Qur’an.” Surat Al-Baqarah ayat 221 menjelaskan bahwa : “Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.” Kemudian pendapat empat Mazhab (Mazhab Hanafi, Mazhab Syafi’i, Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki), secara mayoritas menyatakan bahwa seorang muslim diharamkan menikah dengan wanita non muslimah, kecuali dengan wanita ahlul kitab. Demikian tutur Zudi Rahmanto, yang juga Pengurus PCNU Kabupaten Gunungkidul.

Agus Suprianto, SH., SHI., MSI., CM dalam materi yang disampaikan menjelaskan bahwa asal mula pernikahan beda agama diatur dalam Peraturan perkawinan campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijke S.1898 No. 158, yang dikenal dengan GHR. Pasal 1 GHR menjelaskan bahwa “Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.” Sehingga pernikahan campuran, bisa terjadi dalam hukum yang berlainan yaitu perkawinan campuran internasional, perkawinan antar regio (inter regional), perkawinan campuran antar tempat (inter lokal), perkawinan campuran antar golongan (inter gentiel) dan perkawinan campuran antar agama (antar religius). Namun setelah adanya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran hanya mengatur hukum berlainan karena perbedaan kewarganegaraan saja. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 57 UU Perkawinan yang berbunyi : “perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak kewarganegaraan Indonesia.”

Suatu perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan serta dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan dijelaskan bahwa : 1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; 2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 4, yang menyebutkan bahwa : “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan”. Pencatatan perkawinan menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu bagi pasangan yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah di KUA dan bagi pasangan yang selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan di Catatan Sipil. Kemudian terkait nikah beda agama, ada larangan dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu diatur dalam pasal 40 huruf c dan pasal 44. Pasal 40 huruf c menyebutkan “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu yaitu seorang wanita yang tidak beragama Islam.”  Dan pasal 44 berbunyi : “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”  Sehingga dengan demikian, tertutup peluang pernikahan bagi pasangan beda agama. Ujar Agus, mahasiswa S-3 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Selanjutnya terkait konteks pernikahan beda agama, seperti peristiwa di Semarang, yang mana dilakukan dua kali peristiwa yaitu akad nikah di Hotel Kota Semarang dan pemberkatan di Gereja St. Ignatius Krapyak, umumnya dilakukan model penyelundupan hukum. Pengalaman menunjukkan ada empat model penyelundupan hukum tentang pernikahan beda agama, yaitu 1). meminta penetapan Pengadilan Negeri; 2). perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama; 3). penundukan sementara pada salah satu hukum agama; dan 4). menikah di luar negeri. Kami mengamati kasus Semarang, cenderung model yang kedua yaitu perkawinan dilakukan dua kali menurut masing-masing agama. Sementara yang paling banyak adalah permohonan penetapan Pengadilan Negeri sebagaimana yurispridensi Putusan Mahkamah Agung No. 1400 K/Pdt/1986, yang menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil memperbolehkan untuk mencatatkan pernikahan beda agama. Atau yang paling banyak adalah model salah satu mempelai melakukan “perpindahan agama secara sementara”. Lalu, mempelai itu mengikuti upacara perkawinan yang sah berdasarkan salah satu agama dan setelah menikah, masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Dan yang relatif banyak juga adalah melangsungkan pernikahan di luar negeri, kemudian dicatatkan di Indonesia melalui Kantor Catatan Sipil. Dibalik model penyelundupan hukum, apabila ada yang keberatan tentang suatu peristiwa pernikahan beda agama, sebetulnya ada upaya yaitu pencegahan pernikahan atau pembatalan perkawinan, yang dilakukan oleh pihak keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas, oleh suami atau isteri, oleh pejabat yang berwenang dan jaksa. Demikian penjelasan Agus, yang juga praktisi Advokat dan Mediator.

Usai pemaparan materi dari narasumber, dilanjutkan diskusi atau dialog tanya jawab dari beberapa peserta webinar. Banyak pernyataan dari peserta ada yang disampaikan melalui tulisan di kolom chat layar zoom dan ada beberapa yang langsung disampaikan verbal melalui on camera. Rata-rata penanya adalah mahasiswa STAI Yogyakarta dan pegawai KUA yang menjadi ujuk tombak masyarakat mencari penjelasan klarifikasi polemik nikah beda agama. Diakhir acara, webinar ditutup dengan do’a dan sebelumnya dilaksanakan foto bersama dengan posisi peserta diminta on camera pada layar zoom meeting. Semoga kita semua mendapat manfaat dan barokah dari kegiatan webinar beda agama ini, Amin. (ROH)